Pages

Saturday, May 29, 2010

Makalah Otonomi Daerah - OTONOMI DAERAH DAN PARLEMEN DI DAERAH

OTONOMI DAERAH DAN PARLEMEN DI DAERAH[1]

oleh:
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.[2]







Pemisahan dan Pembagian Kekuasaan



Sebagaimana umum diketahui bahwa dalam rangkademokratisasi dan pembatasan kekuasaan, dikenal adanya prinsip pemisahan kekuasaan(separtation of power). Teori yang paling populer mengenai soal ini adalahgagasan pemisahan kekuasaan negara (separation of power) yang dikembangkan olehseorang sarjana Perancis bernama Montesquieu. Menurutnya, kekuasaan negaraharuslah dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi legislatif, eksekutif danjudikatif. Fungsi legislatif biasanya dikaitkan dengan peran lembaga parlemenatau ‘legislature’, fungsi eksekutif dikaitkan dengan peran pemerintah danfungsi judikatif dengan lembaga peradilan.



Tetapi dalam praktek, teori Montesquieu inioleh sebagian sarjana dianggap utopis. Hal ini terbukti karena kenyataan bahwatidak satupun negara di Eropah, dan bahkan Perancis sendiri yang tidakmenerapkan teori itu seperti yang semula dibayangkan oleh Montesuieu. Oleh parasarjana, negara yang dianggap paling mendekati ide Montesquieu itu hanyaAmerika Serikat yang memisahkan fungsi-fungsi legislatif, eksekutif danjudikatif secara ketat dengan diimbangi mekanisme hubungan yang salingmengendalikan secara seimbang Jika dikaitkan dengan prinsip demokrasi ataugagasan kedaulatan rakyat, maka dalam konsep pemisahan tersebut dikembangkanpandangan bahwa kedaulatan yang ada di tangan rakyat dibagi-bagi dandipisah-pisahkan ke dalam ketiga cabang kekuasaan negara itu secara bersamaan.Agar ketiga cabang kekuasaan itu dijamin tetap berada dalam keadaan seimbang,diatur pula mekanisme hubungan yang saling mengendalikan satu sama lain yangbiasa disebut dengan prinsip ‘checks and balances’.



Dalam perkembangannya, penerapan konseppemisahan kekuasaan itu meluas ke seluruh dunia dan menjadi paradigmatersendiri dalam pemikiran mengenai susunan organisasi negara modern. Bahkan,ketika UUD 1945 dulu dirancang dan dirumuskan, pemahaman mengenai paradigmapemikiran Montesquieu ini juga diperdebatkan di antara para anggota BPUPKI. Mr.Soepomo termasuk tokoh sangat meyakini bahwa UUD 1945 tidak perlu menganutajaran pemisahan kekuasaan menurut pandangan Montesquieu itu. Itu sebabnya,dalam pemahaman banyak sarjana hukum kita, seringkali dikatakan bahwa UUD 1945tidaklah menganut paham pemisahan kekuasaan (separation of power), melainkanmenganut ajaran pembagian kekuasaan (division of power). Ketika Muhammad Yaminmengusulkan agar kepada Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk melakukan‘judicial review’ terhadap materi UU, Seopomo menolak usulannya juga denganmenggunakan logika yang sama, yaitu bahwa UUD 1945 tidak menganut ajaranpemisahan kekuasaan, sehingga MA tidak mungkin diberikan kewenangan mengujimateri UU yang merupakan produk lembaga lain.



Sebenarnya, pemisahan kekuasaan dan pembagiankekuasaan itu sama-sama merupakan konsep mengenai pemisahan kekuasaan(separation of power) yang, secara akademis, dapat dibedakan antara pengertiansempit dan pengertian luas. Dalam pengertian luas, konsep pemisahan kekuasaan(separation of power) itu juga mencakup pengertian pembagian kekuasaan yangbiasa disebut dengan istilah ‘division of power’ (‘distribution of power’). Pemisahankekuasaan merupakan konsep hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal,sedangkan konsep pembagian kekuasaan bersifat vertikal. Secara horizontal,kekuasaan negara dapat dibagi ke dalam beberapa cabang kekuasaan yang dikaitkandengan fungsi lembaga-lembaga negara tertentu, yaitu legislatif, eksekutif, danjudikatif. Sedangkan dalam konsep pembagian kekuasaan (distribution of poweratau division of power) kekuasaan negara dibagikan secara vertikal dalamhubungan ‘atas-bawah’.







Di lingkungan negara federal sepertiAmerika Serikat, istilah ‘distribution’ atau ‘division of power’ itu biasadigunakan untuk menyebut mekanisme pembagian kekuasaan antara pemerintahfederal dan negara bagian. Di negara yang berbentuk kesatuan (unitary state),pengaturan mengenai pembagian kewenangan antara pusat dan daerah juga disebut‘distribution of power’ atau ‘division of power’. Oleh karena itu, secaraakademis, konsep pembagian kekuasaan itu memang dapat dibedakan secara jelasdari konsep pemisahan kekuasaan dalam arti yang sempit tersebut. Keduanya tidakperlu dipertentangan satu sama lain, karena menganut hal-hal yang memangberbeda satu sama lain.



Menurut ketentuan UUD 1945 sebelum diamandemendengan Perubahan Pertama, keseluruhan aspek kekuasaan negara dianggap terjelmasecara penuh dalam peran Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sumber kekuasaannyaberasal dari rakyat yang berdaulat. Dari majelis inilah kekuasaan rakyat itudibagikan secara vertikal ke dalam fungsi-fungsi 5 lembaga tinggi negara, yaitulembaga kepresidenan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Agung (MA), BadanPemeriksa Keuangan (BPK), dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Apabila kitamengkhususkan perhatian kepada fungsi-fungsi legislatif, eksekutif, danjudikatif, maka di samping MPR, kita jugaperlu membahas keberadaan lembaga-lembaga Presiden, DPR dan MA. Sementara itu,BPK lebih menyangkut fungsi ‘verifikatif/akuntatif’ yang lebih dekat denganfungsi DPR, sedangkan DPA menyangkut fungsi ‘konsultatif’ dan ‘advisory’ yanglebih dekat ke fungsi Presiden/Wakil Presiden.



Dalam rangka pembagian fungsilegislatif, eksekutif dan judikatif tersebut, sebelum diadakan perubahanpertama terhadap UUD 1945, biasa dipahami bahwa hanya fungsi kekuasaanjudikatif sajalah yang tegas ditentukan bersifat mandiri dan tidak dapat dicampurioleh cabang kekuasaan lain[3]. Sedangkan Presiden, meskipun merupakan lembagaeksekutif, juga ditentukan memiliki kekuasaan membentuk undang-undang[4],sehingga dapat dikatakan memiliki fungsi legislatif dan sekaligus fungsieksekutif. Kenyataan inilah yang menyebabkan munculnya kesimpulan bahwa UUD1945 tidak dapat disebut menganut ajaran pemisahan kekuasaan (separation ofpower) seperti yang dibayangkan oleh Montesquieu. Oleh karena itu, di masareformasi ini, berkembang aspirasi untuk lebih membatasi kekuasaan Presidendengan menerapkan prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara fungsilegislatif dan eksekutif itu. Fungsi legislatif dikaitkan dengan fungsiparlemen, sedangkan Presiden hanya memiliki fungsi eksekutif saja. Pokokpikiran demikian inilah yang mempengaruhi jalan pikiran para anggota MPR, sehingga diadakan Perubahan Pertama UUD 1945 yangmempertegas kekuasaan DPR di bidang legislatif dengan mengubah rumusan Pasal 5ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Dengan adanya perubahan itu, berartifungsi-fungsi legislatif, eksekutif, dan judikatif telah dipisahkan secarategas, sehingga UUD 1945 tidak dapat lagi dikatakan tidak menganut ajaranpemisahan kekuasaan dalam arti horizontal.



Di pihak lain, cabang kekuasaan kehakiman yangberdasarkan ketentuan UUD 1945 memang ditentukan harus mandiri, makindipertegas agar benar-benar terbebas dari pengaruh Pemerintah. Untukmempertegas hal ini, Ketetapan MPR No.X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunansebagai Haluan Negara telah menentukan bahwa untuk mewujudkan peradilan yangindependen, bersih dan professional dengan memisahkan secara tegas antarafungsi judikatif dan eksekutif. Atas amanat Ketetapan inilah kemudianPemerintah mengajukan Rancangan UU yang akhirnya disetujui oleh DPR-RI menjadiUU No.35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No.14 Tahun 1970 tentangKetentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.



Dengan berlakunya UU No.35/1999inilah dualisme pembinaan peradilan yang menjadi keluhan banyak ahli hukumdihentikan dan pembinaan peradilan dikembangkan menjadi 1 atap di bawahMahkamah Agung[5]. Selama masa, baik Orde Lama maupun Orde Baru, praktekpenerapan prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman itu, harus diakui belumpernah memperoleh momentum untuk dipraktekkan dengan sungguh-sungguh dengantetap memperhatikan keragaman sistem hukum yang berlaku[6]. Sekarang, setelahreformasi, barulah kesempatan itu terbuka. Oleh karena itu, di masa-masamendatang bangsa kita memiliki segala peluang yang terbuka untuk menerapkanprinsip pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan judikatif secara tegas.



Dengan dilakukannya perubahan tersebut, makadapat dikatakan bahwa dalam kaitannya dengan mekanisme hubungan antara lembagatinggi negara di tingkat pusat, UUD 1945 telah resmi menganut kedua ajaranpemisahan kekuasaan (separation of power) dan ajaran pembagian kekuasaan(distribution of power) sekaligus. UUD 1945 menganut ajaran pembagian kekuasaankarena masih membertahankan keberadaan MPRsebagai lembaga tertinggi negara, penjelmaan kedaulatan rakyat. Sedangkanajaran pemisahan kekuasaan dianut karena ketiga cabang kekuasaan legislatif,eksekutif, dan judikatif telah dipisahkan secara tegas. Namun, bersamaan denganitu, konsep pembagian kekuasaan secara vertikal dalam hubungan antarapemerintahan pusat dan pemerintahan daerah juga dianut oleh UUD 1945. Apa yangdirumuskan dalam Pasal 18 UUD 1945 beserta Penjelasannya apabila dibandingkandengan perdebatan dalam BPUPKI berkenaan dengan pilihan bentuk negara federal(bondsstaat) atau negara kesatuan (eenheidsstaat atau unitary state), yaitubahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia akan tersusun atas daerah-daerah yangbersifat desentralistis dan otonom, merupakan pilihan yang paling rasional bagibangsa yang sangat majemuk ini. Akan tetapi, pada masa pemerintahan PresidenSoekarno negara kita baru berada dalam tahap ‘konsolidasi politik’, sedangkandi masa pemerintahan Presiden Soeharto kita berada dalam tahap ‘konsolidasiekonomi’. Dalam kedua tahap itu, praktek yang terjadi justeru berkembang kearah sentralisasi dan konsentrasi kekuasaan, bukan desentralisasi dan otonomidaerah.



Pada akhir masa pemerintahan Presiden Soehartomemang sudah mulai diupayakan mengembangkan kebijakan otonomi daerah yang luasdan bertanggungjawab. Akan tetapi, implementasi dan operasionalisasinya masihbelum didukung oleh perangkat peraturan perundang-undangan yang kokoh, disamping masih sangat tipisnya kesadaran aparatur pemerintahan sendiri, terutamadi tingkat pusat, untuk sungguh-sungguh mewujudkan kebijakan otonomi daerahitu. Akan tetapi, pada era reformasi, berbagai perangkat peraturanperundang-undangan mengenai hal ini telah ditetapkan. Yang utama adalah UUNo.22/1999 dan UU No.25/1999, yang telah dikukuhkan pula materi pokoknya dalamnaskah Perubahan UUD 1945 beserta Ketetapan MPRyang khusus berkenaan dengan kebijakan penyelenggaraan otonomi daerah ini. Denganditerapkannya kebijakan otonomi daerah yang dituangkan dalam UU, dan dikukuhkandalam TAP MPR dan bahkan dalam UUD, makapembagian kekuasaan (distribution atau division of power) antara pusat dandaerah dewasa ini makin dipertegas.





Beberapa Prinsip Otonomi Daerah



Kebijakan otonomi daerah, telah diletakkandasar-dasarnya sejak jauh sebelum terjadinya krisis nasional yang diikutidengan gelombang reformasi besar-besaran di tanah air. Namun, perumusankebijakan otonomi daerah itu masih bersifat setengah-setengah dan dilakukantahap demi tahap yang sangat lamban. Setelah terjadinya reformasi yang disertaipula oleh gemlobang tuntutan ketidakpuasan masyarakat di berbagai daerahmengenai pola hubungan antara pusat dan daerah yang dirasakan tidak adil, makatidak ada jalan lain bagi kita kecuali mempercepat pelaksanaan kebijakanotonomi daerah itu, dan bahkan dengan skala yang sangat luas yang diletakkan diatas landasan konstitusional dan operasional yang lebih radikal.



Sekarang, berdasarkan ketentuan UUD 1945 yang telahdiperbarui, Ketetapan MPR dan UU, sistem pemerintahan kitatelah memberikan keleluasaan yang sangat luas kepada daerah untukmenyelenggarakan otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah menekankanpentingnya prinsip-prinsip demokrasi, peningkatan peranserta masyarakat, danpemerataan keadilan dengan memperhitungkan berbagai aspek yang berkenaan denganpotensi dan keanekaragaman antar daerah. Pelaksanaan otonomi daerah inidianggap sangat penting, karena tantangan perkembangan lokal, nasional,regional, dan internasional di berbagai bidang ekonomi, politik dan kebudayaanterus meningkat dan mengharuskan diselenggarakannya otonomi daerah yang luas,nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional. Pelaksanaanotonomi daerah itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatansumberdaya masing-masing serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, sesuaiprinsip-prinsip demokrasi, peranserta masyarakat, pemerataan dan keadilan,serta potensi dan keanekaragaman antar daerah.



Kebijakan nasional mengenai otonomi daerah danpemerintahan daerah ini, telah dituangkan dalam bentuk UU No.22 Tahun 1999tentang Pemerintahan Daerah yang dilengkapi oleh UU No.25 Tahun 1999 tentangPerimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan ditetapkannyakedua UU ini, maka UU yang mengatur materi yang sama yang ada sebelumknya dandianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan, dinyatakan tidakberlaku lagi. Undang-Undang yang dinyatakan tidak berlaku lagi itu adalah UUNo. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran NegaraTahun 1974 No. 38 dan Tambahan Lembaran Negara Tahun 1974 No.3037), UU No.5Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (LN Tahun 1979 No. 56 dan TLN Tahun 1979No.3153), dan UU No.32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negaradengan Daerah-daerah yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri (LN Tahun1956 No.77 dan TLN Tahun 1956 No.1442).



Untuk memperkuat kebijakan otonomi daerah itu,dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2000 telah pula ditetapkanKetetapan MPR No.IV/MPR/2000 tentang Kebijakan dalam Penyelenggaran OtonomiDaerah yang antara lain merekomendasikan bahwa prinsip otonomi daerah itu harusdilaksanakan dengan menekankan pentingnya kemandirian dan keprakarsaan daridaerah-daerah-daerah otonom untuk menyelenggarakan otonomi daerah tanpa harusterlebih dulu menunggu petunjuk dan pengaturan dari pemerintahan pusat. Bahkan,kebijakan nasional otonomi daerah ini telah dikukuhkan pula dalam materiperubahan Pasal 18 UUD 1945. Dalam keseluruhan perangkat perundang-undanganyang mengatur kebijkan otonomi daerah itu, dapat ditemukan beberapa prinsipdasar yang dapat dijadikan paradigma pemikiran dalam menelaah mengenai berbagaikemungkinan yang akan terjadi di daerah, terutama dalam hubungannya dengankegiatan investasi dan upaya mendorong tumbuhnya roda kegiatan ekonomi dalammasyarakat di daerah-daerah. Prinsip-prinsip dasar itu dapat disarikan sebagaiberikut.



1. Otonomi, Desentralisasi Kewenangan dan IntegrasiNasional



Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerahdilakukan dengan mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama initersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi itu,kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerahsebagaimana mestinya, sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat kedaerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula aruskekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat, maka diidealkanbahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaanakan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah.



Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenanganini dinilai sangat penting terutama untuk menjamin agar proses integrasinasional dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya. Karena dalam sistem yangberlaku sebelumnya, sangat dirasakan oleh daerah-daerah besarnya jurangketidakadilan struktural yang tercipta dalam hubungan antara pusat dandaerah-daerah. Untuk menjamin agar perasaan diperlakukan tidak adil yang munculdi berbagai daerah seluruh Indonesia tidak makin meluas dan terus meningkatyang pada gilirannya akan sangat membahayakan integrasi nasional, makakebijakan otonomi daerah ini dinilai mutlak harus diterapkan dalam waktu yangsecepat-cepatnya sesuai dengan tingkat kesiapan daerah sendiri. Bahkan, TAP MPR tentang Rekomendasi Kebijakan dalam PenyelenggaraanOtonomi Daerah No.IV/MPR/2000 menegaskan bahwa daerah-daerahtidak perlu menunggu petunjuk dan aturan-aturan dari pusat untukmenyelenggarakan otonomi daerah itu sebagaimana mestinya. Sebelumdikeluarkannya peraturan yang diperlukan dari pusat, pemerintahan daerah dapatmenentukan sendiri pengaturan mengenai soal-soal yang bersangkutan melaluipenetapan Peraturan Daerah. Setelah peraturan pusat yang dimaksud ditetapkan,barulah peraturan daerah tersebut disesuaikan sebagaimana mestinya, sekedaruntuk itu memang perlu diadakan penyesuaian.



Dengan demikian, kebijakan otonomi daerah dandesentralisasi kewenangan tidak hanya menyangkut pengalihan kewenangan dariatas ke bawah, tetapi pada pokoknya juga perlu diwujudkan atas dasarkeprakarsaan dari bawah untuk mendorong tumbuhnya kemandirian pemerintahandaerah sendiri sebagai faktor yang menentukan keberhasilan kebijakan otonomidaerah itu. Dalam kultur masyarakat kita yang paternalistik, kebijakandesentralisasi dan otonomi daerah itu tidak akan berhasil apabila tidakdibarengi dengan upaya sadar untuk membangun keprakarsaan dan kemandiriandaerah sendiri.





2. Otonomi, Dekonsentrasi Kekuasaan dan Demokratisasi



Otonomi daerah kadang-kadang hanya dipahamisebagai kebijakan yang bersifat institutional belaka yang hanya dikaitkandengan fungsi-fungsi kekuasaan organ pemerintahan. Oleh karena itu, yangmenjadi perhatian hanyalah soal pengalihan kewenangan pemerintahan dari tingkatpusat ke tingkat daerah. Namun, esensi kebijakan otonomi daerah itu sebenarnyaberkaitan pula dengan gelombang demokratisasi yang berkembang luas dalamkehidupan nasional bangsa kita dewasa ini.



Pada tingkat suprastruktur kenegaraan maupun dalam rangkarestrukturisasi manajemen pemerintahan, kebijakan otonomi daerah itudikembangkan seiring dengan agenda dekonsentrasi kewenangan. Jika kebijakandesentralisasi merupakan konsep pembagian kewenangan secara vertikal, makakebijakan dekonsentrasi pada pokoknya merupakan kebijakan pembagian kewenanganbirokrasi pemerintahan secara horizontal. Kedua-duanya bersifat membatasikekuasaan dan berperan sangat penting dalam rangka menciptakan iklim kekuasaanyang makin demokratis dan berdasar atas hukum.



Oleh karena itu, kebijakan otonomi daerah itutidak hanya perlu dilihat kaitannya dengan agenda pengalihan kewenangan dariPemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi juga menyangkut pengalihankewenangan dari pemerintahan ke masyarakat. Justru inilah yang harus dilihatsebagai esensi pokok dari kebijakan otonomi daerah itu dalam arti yangsesungguhnya. Otonomi daerah berarti otonomi masyarakat di daerah-daerah yangdiharapkan dapat terus tumbuh dan berkembang keprakarsaan dan kemandiriannyadalam iklim demokrasi dewasa ini.



Jika kebijakan otonomi daerah tidak dibarengidengan peningkatan kemandirian dan keprakarsaan masyarakat di daerah-daerahsesuai tuntutan alam demokrasi, maka praktek-praktek kekuasaan yang menindasseperti yang dialami dalam sistem lama yang tersentralisasi, akan tetap munculdalam hubungan antara pemerintahan di daerah dengan masyarakatnya. Bahkankehawatiran bahwa sistem otonomi pemerintahan daerah itu justru dapatmenimbulkan otoritarianisme pemerintahan lokal di seluruh Indonesia. Para pejabat daerah yang sebelumnya tidak memiliki banyak kewenangan dalamwaktu singkat tiba-tiba mendapatkan kekuasaan dan kesempatan yang sangat besaryang dalam waktu singkat belum tentu dapat dikendalikan sebagaimana mestinya.Dalam keadaan demikian, maka sesuai dengan dalil Lord Acton bahwa ‘power tendsto corrupt and absolute power corrupts absolutely’, timbul kehawatiran bahwaiklim penindasan dan praktek-praktek kezaliman yang anti demokrasi sertapraktek-praktek pelanggaran hukum dan penyalahgunaan wewenang yang pernahterjadi di tingkat pusatn justru ikut beralih ke dalam praktek pemerintahan didaerah-daerah di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, otonomi daerahharuslah dipahami esensinya juga mencakup pengertian otonomi masyarakat didaerah-daerah dalam berhadapan dengan pemerintahan di daerah.





4. Otonomi dan ‘Federal Arrangement’



Dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang PemerintahanDaerah, terkandung semangat perubahan yang sangat mendasar berkenaan dengankonsep pemerintahan Republik Indonesia yangbersifat federalistis. Meskipun ditegaskan bahwa organisasi pemerintahanRepublik Indonesia berbentuk Negara Kesatuan(unitary), tetapi konsep dasar sistem pembagian kekuasaan antara pusat dan daerahdiatur menurut prinsip-prinsip federalisme. Pada umumnya dipahami bahwa dalamsistem federal, konsep kekuasaan asli atau kekuasaan sisa (residual power)berada di daerah atau bagian, sedangkan dalam sistem negara kesatuan (unitary),kekuasaan asli atau kekuasaan sisa itu berada di pusat. Dalam ketentuan Pasal 7UU tersebut, yang ditentukan hanyalah kewenangan pusat yang mencakup urusanhubungan luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, danurusan agama, sedangkan kewenangan berkenaan dengan urusan sisanya (lainnya)justru ditentukan berada di kabupaten/kota.



Bahkan, dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945,yaitu Pasal 18 ayat (8) dinyatakan: “Pemerintah pusat memberikan otonomi yangluas kepada daerah-daerah untuk melaksanakan pemerintahan masing-masing,kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan,peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan di bidang lain yangdiatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman yangdimiliki daerah”. Hanya saja perlu dicatat pertama bahwa dalam naskah PerubahanUUD ini digunakan perkataan “‘memberikan’ otonomi yang luas kepadadaerah-daerah”. Kedua, jika dalam Pasal 7 UU No.22 Tahun 1999 tertulis‘Pertahanan Keamanan’ tanpa koma, maka dalam Pasal 18 ayat (8) UUD 1945digunakan koma, yaitu “pertahanan, keamanan”. Masih harus diteliti sejauhmanakedua hal ini dapat dinilai mencerminkan kekurangcermatan para anggota BadanPekerja MPR dalam perumusan redaksi, ataumemang hal itu dirumuskan dengan kesengajaan bahwa pada hakikatnya kewenangandaerah dalam rangka kebijakan otonomi daerah itu adalah pemberian pemerintahpusat kepada daerah[7], dan bahwa pengertian pertahanan dan keamanan yangberdasarkan Pasal 2 Ketetapan MPR tentangPemisahan TNI dan POLRI No. VI/MPR/2000 memangtelah dipisahkan secara tegas, merupakan urusan-urusan yang berbeda, yaituantara peran tentara dan kepolisian[8].



Dalam Pasal 4 ayat (2) dinyatakan bahwa hubunganantara pusat dan daerah tidak lagi bersifat hirarkis. Bupati bukan lagi bawahanGubernur, dan hubungan antara daerah propinsi dan daerah kabupaten serta kota tidak lagi bersifat subordinatif, melalinkan hanyakoordinatif. Elemen hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal ini danditetapkannya prinsip kekuasaan asli atau sisa yang berada di daerahkabupaten/kota merupakan ciri-ciri penting sistem federal. Karena itu, dapatdikatakan bahwa meskipun struktur organisasi pemerintahan Republik Indonesia berbentuk Negara Kesatuan, kitajuga mengadopsi pengaturan-pengaturan yang dikenal sebagai ‘federalarrangement’.



Oleh karena itu, para penyelenggara negara, baikdi pusat maupun di daerah-daerah sudah seharusnya menyadari hal ini, sehinggapelaksanaan otonomi daerah perlu segera diwujudkan tanpa keraguan. Pihak-pihakyang bersikap skeptis ataupun yang masih berusaha mencari formula lainsehubungan dengan gelombang separatisme di berbagai daerah, seyogyanya jugamenyadari adanya pengaturan-pengaturan yang bersifat federalistis tersebut. Hanyadengan keyakinan kolektif bangsa kita mengenai besarnya skala perubahanstruktural yang dimungkinkan dalam berbagai instrumen peraturanperundang-undangan yang telah ditetapkan, kita akan dapat berkonsentrasi penuhmenyukseskan agenda otonomi daerah yang luas ini. Dan hanya dengan konsentrasipenuh itu pulalah kita akan dapat menyukseskan agenda otonomi daerah ini,sehingga dapat terhindar dari malapetaka yang jauh lebih buruk berupadisintegrasi kehidupan kita sebagai satu bangsa yang bersatu dalam wadah NegaraKesatuan Republik Indonesia.





5. Otonomi dan Daya Jangkau Kekuasaan



Dalam kebijakan otonomi daerah itu tercakuppula konsepsi pembatasan terhadap pengertian kita tentang ‘negara’ yang secaratradisional dianggap berwenang untuk mengatur kepentingan-kepentingan umum.Dalam UU No.22 Tahun 1999 tersebut, yang dapat dianggap sebagai wilayah dayajangkau kekuasaan negara (state) hanya sampai di tingkat kecamatan. Secaraakademis, organ yang berada di bawah struktur organisasi kecamatan dapatdianggap sebagai organ masyarakat, dan masyarakat desa dapat disebut sebagai‘self governing communities’ yang otonom sifatnya. Oleh karena itu, padapokoknya, susunan organisasi desa dapat diatur sendiri berdasarkan norma-normahukum adat yang hidup dan berkembang dalam kesadaran hukum dan kesadaranpolitik masyarakat desa itu sendiri.



Secara ideal, wilayah kekuasaan pemerintahannegara tidak dapat menjangkau atau turut campur dalam urusan pemerintahan desa.Biarkanlah masyarakat desa mengatur sendiri tata pemerintahan desa mereka sertamengatur perikehidupan bersama mereka di desa sesuai dengan kebutuhan setempat.Tidak perlu diadakan penyeragaman pengaturan untuk seluruh wilayah nusantaraseperti yang dipraktekkan selama ini. Prinsip ‘self governing community’ inisejalan pula dengan perkembangan pemikiran modern dalam hubungan antara ‘stateand civil society’ yang telah kita kembangkan dalam gagasan masyarakat madani.



Dalam pengembangan masyarakat madani, tidak sajamasyarakat desa dikembangkan sebagai ‘self governing communities’, tetapiketerlibatan fungsi-fungsi organisasi pemerintahan secara umum dalam dinamikakegiatan masyarakat pada umumnya juga perlu dikurangi secara bertahap. Hanyafungsi-fungsi yang sudah seharusnya ditangani oleh pemerintah sajalah yangtetap harus dipertahankan wilayah yang berada dalam daya jangkau kekuasaannegara. Sedangkan hal-hal yang memang dapat dilepaskan dan dapat tumbuhberkembang sendiri dalam dinamika masyarakat, cukup diarahkan untuk menjadibagian dari urusan bebas masyarakat sendiri.



Sudah tentu pelepasan urusan tersebut menjadiurusan masyarakat perlu dilakukan dengan cermat dan hati-hati. Pelepasan urusandimaksudkan untuk mendorong kemandirian dan keprakarsaan masyarakat sendiri,bukan dimaksudkan untuk melepas beban dan tanggungjawab pemerintah karenadidasarkan atas sikap yang tidak bertanggungjawab ataupun karena disebabkanketidakmampuan pemerintah menjalankan tugas dan kewajiban yang dibebankankepadanya. Pelepasan urusan juga tidak boleh dilakukan tiba-tiba tanpaperencanaan yang cermat dan persiapan sosial yang memadai yang pada gilirannyajustru dapat menyebabkan kegagalan total dalam agenda penguatan sektormasyarakat secara keseluruhan.





Parlemen Indonesia: MPR, DPR, DPRD, dan ‘DPD’



‘Parlemen’ asal katanya dari perkataan bahasaPerancis, ‘parle’ yang berarti ‘to speak’ (berbicara). Fungsi utamanya adalahuntuk mengawasi pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Dalam sejarah Eropah,lembaga ini dapat dikatakan baru terbentuk setelah terjadinya gelombangreformasi pasca revolusi yang menuntut pembatasan terhadap kekuasaan raja yangotoritarian, dzalim dan dirasakan sangat menindas kepentingan rakyat banyak.Revolusi di Perancis, di Inggeris, dan di beberapa kerajaan lainnya di Eropahseperti Jerman, Belanda, dan sebagainya, memperlihatkan gejala yang sama, yaitusebagai hasil perjuangan rakyat yang menentang kekuasaan para Raja, dibentuklahmekanisme kelembagaan perwakilan rakyat yang disepakati dapat ikut menentukankeputusan-keputusan pemerintah yang menyangkut kepentingan rakyat banyak danaktif mengawasi atau mengendalikan pelaksanaan keputusan-keputusan itu.



Lembaga ini dinamakan parlemen dengan keanggotaan yangbersifat perwakilan yang dipilih atau ditentukan sendiri oleh rakyat. Sebelummasa revolusi itu, lembaga semacam ini memang sudah ada. Tetapi tugas utamanyalebih tetap disebut sebagai lembaga penasehat, dan keanggotaannya ditentukansendiri oleh raja. Di Belanda, misalnya, lembaga seperti itu pada awalnyabernama ‘Raad van Staat’ atau Dewan Negara. Akan tetapi, setelah masa revolusiyang antara lain menghasilkan pembentukan lembaga-lembaga perwakilan rakyat diberbagai negara, fungsi lembaga penasehat itu menjadi berkurang, dan perannyadigantikan oleh lembaga perwakilan yang kemudian dikenal sebagai parlemen. Peranyang paling strategis diambil oleh lembaga parlemen itu pada umumnya adalahfungsi pengaturan dan fungsi pengawasan. Setelah berkembangnya teori‘separation of power’, fungsi pengaturan itulah yang biasa dinamakan fungsilegislasi (regeling functie atau regulative function). Setelah dibuat aturan,maka atas dasar dan pedoman aturan itulah pemerintah diharapkan bekerja. Akantetapi, jalannya pelaksanaan aturan itu di lapangan, tetap harus diawasi ataudikontrol oleh lembaga parlemen itu. Dengan demikian, kedua fungsi legislasidan pengawasan itu berkaitan erat satu sama lain.



Pengertian parlemen itu di Indonesia dapat dikaitkan dengan keberadaanlembaga MPR, DPR, dan DPRD. Bahkan, dewasasebagaimana terlihat dalam draf rancangan Perubahan UUD 1945, direncanakan pulanantinya akan dibentuk Dewan Perwakilan Daerah yang bersama-sama DPR akanmenjadikan parlemen kita terdiri atas dua lembaga (kamar) atau yang biasadisebut parlemen bikameral. Jika DPD itu nantinya terbentuk, maka kedudukan MPR akan berubah tidak lagi sebagai lembaga tertingginegara. Jika MPR masih akan dipertahankan,paling-paling ia berubah menjadi forum saja, yaitu forum tertinggi yangmerupakan rapat gabungan antara DPR dan DPD untuk memutuskan mengenai hal-halyang tertentu saja, seperti untuk menetapkan perubahan UUD. Namun, sebelum DPDitu terbentuk, kita masih memiliki MPRsebagai lembaga tertinggi.



Pada pokoknya, MPR itu juga merupakan bagian dari pengertian kita tentang parlemen.Apalagi, keanggotaannya terdiri atas anggota DPR ditambah Utusan Golongan danUtusan Daerah yang nantinya akan menjadi lembaga tersendiri, yaitu DPD itu. MPR mempunyai fungsi untuk mengatur, tetapi terbataspada hal-hal yang pokok dan mendasar, yang selama ini disepakati hanya dalambentuk UUD, Perubahan UUD, ataupun dalam bentuk Ketetapan MPR yang dianggap sebagai dokumen hukum tersendiri dibawah UUD. Mengenai keberadaan TAP MPRsebagai dokumen hukum secara akademis juga sering dipersoalkan. Sebabnya ialahkarena di mana-mana di seluruh dunia struktur perundang-undangan negara modernselalu berpuncak pada naskah UUD dan di bawahnya selalu berbentuk UU sebagaiproduk yang dengan tingkat keterlibatannya sendiri-sendiri melibatkan peranparlemen bersama pemerintah dengan tingkat keterlibatannya sendiri-sendiri yangdiatur secara berbeda-beda antara satu negara dengan negara lain. Akan tetapi,selama MPR masih difungsikan seperti sekarangtidak dapat dihindarkan bahwa Ketetapan MPRitu harus diterima kedudukannya sebagai dokumen hukum tertinggi di bawah UUD. Inilahperbedaan antara pengertian hukum teoritis dengan hukum positif. Dari segiteori, bisa saja seorang ilmuwan hukum berpendapat bahwa kedudukan TAP MPR itu bermasalah, tetapi dalam rangka praktekpenyelenggaraan negara, TAP MPR itumerupakan hukum positif yang berlaku, kini dan disini.



Selain fungsinya untuk mengatur atau menetapkan aturan untukkepentingan umum, MPR kita juga mempunyai fungsiperwakilan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden serta fungsi peradilanjika Presiden dinilai melanggar haluan penyelenggaraan negara. Untukmelaksanakan fungsinya itu, MPRmenyelenggarakan kegiatan persidangan. Yang rutin lima tahunan disebut Sidang Umum, sedangkan yang dapatdiadakan sewaktu-waktu di luar agenda rutin disebut Sidang Istimewa. Tetapi,mulai sejak Sidang Tahunan MPR tahun 2000ini, timbul kecenderungan untuk meruntinkan fungsi MPR dalam bentuk penyelenggaraan persidangan yangdisebut Sidang Tahunan. Selain itu, MPRjuga menambah sendiri tugas dan kewenangannya dengan meminta laporanpelaksanaan tugas kepada setiap lembaga tinggi negara disampaikan dalampersidangan MPR. Di samping itu, meskipun masihdalam tahap perdebatan, MPR berusaha mengambil kewenangan yangseharusnya diberikan kepada Mahkamah Agung, yaitu dalam menguji materi UU(judicial review) terhadap UUD. Dengan tambahan-tambahan itu sangat mungkin MPR makin berkembang menjadi lembaga rutin, padahal padasisi yang lain, kedudukan dan perannya sebagai lembaga tertinggi akan mengalamiperubahan menjadi sekedar forum, terutama jika dikaitkan dengan penerapan idepemilihan Presiden secara langsung dan pembentukan struktur parlemen menjadidua kamar DPR dan DPD.



Di samping MPR,sekarang kita mempunyai lembaga DPR yang merupakan lembaga parlemen dalam artiyang sesungguhnya. Kedudukannya sederajat dengan Presiden atau Pemerintahdengan keanggotaan yang sepenuhnya dipilih melalui pemilihan umum yangdiselenggarakan secara adil dan jujur berdasarkan prinsip-prinsip yanglangsung, umum, bebas, dan rahasia. DPR inilah yang secara rutin menjalankanfungsi pengawasan dan fungsi legislasi dalam arti yang sebenarnya. Instrumenyang dipakai untuk menjalankan kedua fungsi itu ada dua, yaitu instrumenperaturan perundang-undangan, dan instrumen anggaran pendapatan dan belanjanegara. Karena pentingnya anggaran itu, bahkan sering dikatakan bahwa DPRmempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi legislasi, pengawasan, dan fungsi anggaran.



Untuk melaksanakan fungsi pengawasan, lembagaDPR dilengkapi dengan hak untuk meminta keterangan (interpelasi), hak untukmenyelidiki (enquette), hak pernyataan pendapat (resolusi), hak untukmemperingatkan tertulis (memorandum), dan bahkan hak untuk menuntut pertanggungjawaban(impeachment). Dalam sistem pemerintahan parlementer, ada pula istilah mosiyang biasanya dikaitkan dengan fungsi pemberian dukungan (mosi dukungan) danpernyataan ketidakpercayaan (mosi tidak percaya) yang dapat menjatuhkankabinet. Dalam pelaksanaan fungsi legislasi, DPR mempunyai hak/kewajibanmengajukan rancangan undang-undang, hak amandemen atau hak untuk mengubahsetiap rancangan UU yang diajukan oleh pemerintah. Bahkan, DPR juga berhakmenolak sama sekali rancangan UU yang diajukan oleh Pemerintah. Sedangkan dalamhubungannya dengan fungsi anggaran, DPR berhak mengajukan RAPBN, dan berhakmengubah dengan mengurangi ataupun menambah anggaran dari apa yang diajukanoleh pemerintah.



Selain hak DPR sebagai lembaga, setiap anggota DPR juga berhakuntuk mengajukan pertanyaan, hak mengambil inisiatif untuk pelaksanaan hak-hakDPR tersebut di atas, dan juga hak keuangan dan hak administratif lainnya sertahak imunitas atau kekebalan hukum yang membedakannya dari warganegara biasasesuai ketentuan hukum yang berlaku. Di samping itu, DPR juga diberi hak untukturut serta dalam kegiatan penyelenggaraan negara dan pemerintahan, yaitu untukturut menentukan mengenai pengangkatan orang dalam sesuatu jabatan tertentu. Ada pejabat yang harus diajukan pencalonannya oleh DPR(candidature), ada pengangkatannya harus mendapat persetujuan DPR (approval),dan ada pula yang pengangkatannya cukup mendapat pertimbangan DPR(confirmation). Hak-hak yang terakhir ini sebenarnya tidak terkait denganfungsi pengawasan, fungsi legislasi, dan fungsi anggaran seperti dikemukakan diatas, Akan tetapi, hak-hak untuk menyarankan, menganjurkan ataupun untukmengkonfirmasikan dan menyetujui seseorang itu dapat dikaitkan dengan fungsitambahan DPR yang bersifat ‘co-administration’.





Keseimbangan Peran Lembaga Legislatif versus Eksekutif



Kekuasaan legislatif, selama ini tidaklah secarategas ditentukan harus berada di tangan DPR, karena dalam Pasal 5 ayat (1) lamadinyatakan: “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang denganpersetujuan DPR”. Memang ditentukan pula dalam Pasal 20 ayat (1) lama bahwa“Anggota DPR berhak memajukan rancangan undang-undang”. Namun, dalam naskahPerubahan Pertama UUD 1945 yang telah disahkan dalam Sidang Umum MPR pada bulan Nopember 1999 yang lalu, ketentuan Pasal5 ayat (1) tersebut diubah menjadi: “Presiden berhak mengajukan RUU kepadaDPR”, dan dalam Pasal 20 ayat (1) ditentukan: “DPR memegang kekuasaan membentukUU”. Dalam ayat (2)-nya dinyatakan: “Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presidenuntuk mendapat persetujuan bersama”; dan dalam ayat (4)-nya dinyatakan:“Presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadi UU”.



Harus diakui bahwa adanya hak inisiatif untuk memajukan RUUtersebut, sebenarnya hanya bersifat tambahan terhadap kewenangan utama(primer). Karena itu, dalam ketentuan yang lama, hak yang dimiliki oleh DPRdibandingkan dengan kewenangan utama membentuk undang-undang yang dimiliki olehPresiden, memang dapat dikatakan tidak seimbang. Sekurang-kurangnya, dalambidang legislatif, dengan adanya ketentuan demikian, jelas terlihat bahwakedudukan Presiden dan DPR itu memang tidak seimbang.



Ketidak-seimbangan itu makin jelas terlihatdalam hal pembentukan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti UU (Perpu). Dalamketentuan yang berlaku selama ini, Presiden diberi hak dan wewenang oleh UUDuntuk menetapkan Perpu dan memberlakukannya selama 1 tahun tanpa memerlukanpersetujuan DPR. Sedangkan dalam hal RUU yang diprakarsai oleh DPR telahdisahkan oleh DPR, tetapi apabila Presiden tidak menyetujui RUU tersebut, makaotomatis RUU tersebut tidak dapat diberlakukan. Bahkan lebih jauh lagi, dalampembentukan peraturan perundang-undangan, selama ini ada yang disebut sebagai‘policy rules’ (beleidregels) yang dianggap dengan sendirinya berada di tanganPresiden yang dalam praktek tercerminkan dalam kewenangannya untuk mengeluarkanKeputusan Presiden yang bersifat mandiri dalam arti tidak dalam rangkamelaksanakan perintah undang-undang. Dalam praktek selama pemerintahan OrdeBaru, justru jenis-jenis Keputusan Presiden yang demikian banyak sekalijumlahnya, termasuk sebagian besar di antaranya sesungguhnya memuat materi yangseharusnya dituangkan dalam bentuk UU. Gejala inilah yang biasa saya sebutsebagai gejala ‘Government by Keppres’.



Bahkan dalam praktek, cenderung banyak sekali jenis SuratKeputusan Presiden yang bersifat mandiri, yang mengatur hal-hal yangkadang-kadang seharusnya diatur dalam undang-undang. Dari ketiga kasustersebut, makin jelas bagi kita bahwa kedudukan Presiden dalam bidanglegislatif ini jauh lebih besar daripada DPR. Oleh karena itu, dapat dimengertimengapa ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 perlu diubahmenjadi rumusan seperti sekarang. Perubahan ini menggambarkan telah terjadinyapergeseran dalam penyelenggaraan kekuasaan legislatif dari Presiden ke lembagaDPR.



Di samping itu, berkenaan dengan pengertian persetujuanbersama antara DPR dan Presiden dalam pembahasan suatu RUU tersebut, juga perludipahami dengan tepat. Dalam Penjelasan UUD 1945, memang dapat ditemukan adanyapengertian mengenai ‘persetujuan DPR’ dan mengenai fungsi legislatif Presiden‘bersama-sama’ DPR. Kewenangan DPR untuk memberikan persetujuan itu terhadapsetiap RUU dapat saja ditafsirkan memberikan kedudukan yang lebih tinggi, lebihrendah, atau setara kepada DPR dalam berhadapan dengan Pemerintah. Akan tetapi,dalam Penjelasan UUD 1945, kedudukan DPR itu dinyatakan kuat, tetapi Presidentidak ‘untergeornet’, tetapi ‘neben’ terhadap DPR. Oleh karena itu, pengertian‘bersama-sama’ disitu berarti ‘kesetaraan’ dan ‘kesederajatan’.



Bagaimanakah sebenarnya bentuk pelaksanaan dariprinsip ‘persetujuan bersama’ itu dalam praktek? Apakah persetujuan bersama itudilakukan dalam persidangan atau persetujuan itu bersifat institusional. Disetujuitidaknya suatu RUU oleh DPR, sesuai tata tertib DPR dilakukan melalui prosespersidangan, bukan ditentukan begitu saja oleh pimpinan DPR. Dengan sendirinyayang dimaksud dengan istilah ‘bersama-sama’ di atas dilakukan dalam persidanganbersama-sama. Dalam proses persidangan tersebut, bisa terjadi beberapakemungkinan. Pertama, berdasarkan mekanisme persidangan yang ada, suatu RUUdiputus melalui pemungutan suara dengan mayoritas dukungan memenangkan skenarioatau versi pemerintah. Kedua, putusan RUU itu justru dimbil melalui pemungutansuara yang memenangkan versi partai oposisi.



Dalam hal terjadi kemungkinan kedua, apakahdapat dikatakan bahwa RUU tersebut sudah dibuat secara bersama-sama atau apakahpengertian persetujuan bersama itu sudah terpenuhi meskipun pihak pemerintahjelas-jelas tidak menyetujuinya, tetapi kalah dalam pemungutan suara. Menurutpendapat saya, harus dibedakan antara persetujuan bersama dalam persidangandengan persetujuan yang berkenaan dengan hak veto yang bersifat institusional. Dalamhal suatu RUU sudah disetujui dengan suara terbanyak dalam persidangan DPRdengan memenangkan suara oposisi, maka hal itu sudah dianggap sebagaipersetujuan bersama. Pengertian ini harus diterima, karena dalam sistemdemokrasi, proses pengambilan keputusan memang harus dihadiri bersama, tetapikeputusan yang diambil tidak berarti harus memuaskan semua pihak. Sudahsewajarnya ada ‘take and give’ dan bahkan ada yang kalah dan ada yang menang.Namun, terhadap putusan yang sudah diambil bersama itu, Presiden yangkepentingannya dikalahkan dalam persidangan masih dapat menggunakan haknyauntuk tidak mengesahkan suatu RUU yang sudah diputuskan oleh DPR dengan caratidak menandatangani untuk mengundangkan RUU tersebut.



Ketentuan seperti ini ada dimana-mana. PresidenAmerika Serikat juga diberi wewenang untuk memveto suatu UU yang sudahdisetujui oleh DPR. Akan tetapi, harus juga diperhatikan bahwa hak veto iniharus pula dibatasi[9]. Tanpa pembatasan, Presiden bisa saja bertindaksewenang-wenang. Di Amerika Serikat diatur apabila suatu UU yang telah disahkanparlemen diveto oleh Presiden, maka RUU tersebut dapat dibahas lagi untukdiadakan pemungutan suara ulangan, dan jika parlemen tetap menyetujui RUUtersebut maka RUU tersebut langsung dapat menjadi UU tanpa memerlukanpengesahan oleh Presiden. Dalam hal yang terakhir ini, Presiden tinggalmelaksanakan tindakan administrasi pengundangannya saja sebagaimana mestinya.



Dengan demikian, Presiden mempunyai hak sebagaipemeran utama untuk memajukan RUU, berhak memveto RUU inisiatif DPR, danmemveto RUU yang mengalahkan kepentingan pemerintahannya. Sedangkan DPR berhakmengajukan RUU atas inisiatifnya sendiri, berhak menyetujui, mengamandemen,atau tidak menolak suatu RUU, dan menolak suatu PERPU yang telah diberlakukanoleh Pemerintah. Kedua kewenangan yang diberikan oleh konstitusi kepada kedualembaga tinggi negara ini, betapapun juga tetap saja menggambarkan bahwa dibidang legislatif, kedudukan Presiden lebih tinggi daripada DPR.





Kecenderungan Peran Parlemen: dari legislasi ke‘controlling’



Sebenarnya fungsi legislatif itu hanyalahmerupakan sebagian saja dari tugas pokok parlemen. Asal muasal terbentuknyalembaga parlemen itu dalam sejarah Eropah sebenarnya dilatar belakangi olehkebutuhan untuk mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan tugas-tugas pemerintah.Bahkan istilah parlemen itu sendiri berasal dari kata Perancis ‘parle’ yangberarti ‘to speak’, berbicara. Artinya, yang lebih diutamakan dari parlemen itupada dasarnya adalah fungsi ‘controlling’, bukan ‘legislation’. Bahkan,meskipun secara formil fungsi legislatif itu ditentukan dalam konstitusisebagai fungsi pokok parlemen, tetapi dalam prakteknya justru fungsi legislatifitu tetap tidak efektif untuk menggambarkan adanya kesetaraan derajat antarapemerintah dan parlemen.



Sebagai contoh kita dapat melihat apa yangterjadi di negara-negara yang diidealkan mempraktekkan sistem demokrasi sepertiAmerika Serikat dan Perancis. Baik dalam Konstitusi Perancis maupun AmerikaSerikat jelas ditentukan bahwa kekuasaan legislatif itu berada di tangan parlemen[10].Akan tetapi, dalam prakteknya, justru hal itu tidak mudah dilakukan. Sebagaicontoh selama tahun 1970-an dan 1980-an, sekitar 95 persen RancanganUndang-Undang (RUU) yang dibahas di parlemen Perancis justru berasal dariinisiatif Pemerintah, bukan inisiatif parlemen. Sedangkan Rancangan UU yangberasal dari inisiatif parlemen hanya berjumlah 5 persen. Malah 3 persen diantaranya diprakarsai oleh partai pemerintah dan hanya 2 persen yangdiprakarsai oleh partai oposisi, itupun untuk hal-hal yang tidak strategis.Dengan demikian, praktis ketentuan yang mengidealkan peran parlemen di bidanglegislatif itu terbukti hanya bersifat formalitas belaka[11]. Di AmerikaSerikat lain lagi, meskipun banyak Rancangan UU berasal dari parlemen sendiri,tetapi Presiden tetap diberi hak veto sebagai senjata penting untuk menolakmengesahkan suatu RUU yang telah disetujui dalam persidangan parlemen. SelainPresiden bahkan para Gubernur di negara-negara bagian 80 persen di antaranyajuga dilengkapi dengan hak veto ini.



Para Presiden Amerika Serikat makin lama makinsering menggunakan hak veto itu. Selama abad ke-19, hak veto cenderungdigunakan lebih sering dibandingkan dengan abad sebelumnya. Yang peling diantaranya adalah Presiden Grover Cleveland. Selama masa pemerintahan yangpanjang di bawah kepemimpinan Presiden Franklin D. Roosevelt, hak veto inidigunakan sebanyak 631 kali, tetapi dalam masa yang jauh lebih singkat,Presiden Truman menggunakannya 250 kali, Presiden Eisenhower 181 kali. Padaabad ke-20, penggunaan hak veto itu meningkat lebih sering lagi. MenurutWilliam J. Keete dan Morris S. Ogul, hal ini disebabkan oleh 3 faktor, yaitu:(1) meningkatnya permasalahan yang dihadapi sebagai akibat perkembanganindustrialisasi, urbanisasi, dan krisis Internsional, (2) meningkatnya harapandan kebutuhan publik akan tindakan pemerintah, (3) meluasnya lingkup danintensitas konflik politik[12].



Selama periode tahun 1889 - 1968, tercatat 14orang Presiden Amerika Serikat dengan rata-rata jumlah RUU yang diveto sebanyak2,5%. Presiden Truman dapat dikatakan paling banyak, yaitu 3,7% dari semua RUUyang diajukan kepadanya[13]. Dari segi prosentasenya memang dapat dikatakansedikit. Akan tetapi, angka nominalnya cukup besar sebagaimana dikemukakan diatas. Malahan, di beberapa negara bagian, hak veto yang juga digunakan olehGubernur ada pula yang tercatat sangat tinggi, misalnya, di negara bagian NewYork antara tahun 1927 - 1951, tercatat sebanyak 26%, sedangkan di Pennsylvaniaantara tahun 1939 - 1946 tercatat 10,5%[14].



Besarnya kekuasaan Presiden untuk menggunakansenjatanya dalam memveto pengesahan suatu RUU yang telah disetujui olehparlemen diiringi pula oleh kecenderungan untuk mengajukan sendiri inisiatifperancangan Undang-Undang oleh pihak pemerintah. Kecenderungan ini terusmeningkat selama abad ke-20 dan memberikan pembenaran bahwa penekanan padakekuasaan legislatif yang dikaitkan dengan fungsi parlemen itu, praktis hanyabersifat proforma. Mengapa hal ini terjadi? Boleh jadi hal ini disebabkan olehkenyataan bahwa memang pihak pemerintahlah yang sesungguh paling mengetahuimengenai kebutuhan untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan, karenabirokrasi pemerintah paling banyak menguasai informasi dan expertise yangdiperlukan untuk itu. Oleh karena itu, dalam perspektif hubungan antaraparlemen dengan pemerintah di masa yang akan datang, berkembang pemikiran untuklebih mengutamakan fungsi kontrol untuk menjamin terjadinya proses ‘checks andbalances’ daripada menekankan fungsi legislasi yang harus dipisahkan secarakaku berdasarkan prinsip ‘separation of power’[15].



Harus diakui bahwa pada hakikatnya, prinsip‘separation of power’ itu memang dapat menjamin pembatasan kekuasaan. Akantetapi, untuk menyerahkan tugas legislasi sepenuhnya kepada DPR tidakrealistis, karena legislasi itu sebagian terbesar lebih bersifat teknis yangmembutuhkan peran pemerintah. Bahkan dewasa ini, makin disadari bahwa kekuasaanuntuk membuat undang-undang cenderung terus berkembang semakin teknis sifatnya,sedangkan fungsi pengawasan dan pengendalian yang lebih bersifat politiscenderung dianggap makin penting dalam upaya membangun citra parlemen yangefektif untuk menggambarkan kesederajatannya dengan pihak pemerintah. Karenaitu, dalam kaitannya dengan pengaturan soal ini menurut UUD 1945, sebenarnya,ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang lama dapat dikatakan sudah tepat, tinggal lagimeningkatkan fungsi kontrol atau pengawasan DPR terhadap pelaksanaantugas-tugas pemerintahan.



Akan tetapi, sekarang para wakil rakyat sudah menentukanbahwa lembaga legislatif itu adalah DPR, sedangkan pemerintah hanya pelaksana(eksekutif), sebagaimana tercermin dalam Perubahan Pertama UUD 1945. Dalamrumusan Pasal 5 ayat (1) yang lama jelas ditentukan bahwa Presidenlah yangmemegang kekuasaan membentuk UU dengan persetujuan DPR, meskipun ditentukanpula bahwa DPR mempunyai hak usul inisiatif untuk memajukan RUU. Tetapi, dalamrumusan Pasal 5 ayat (1) yang baru ditegaskan: “Presiden berhak mengajukanrancangan undang-undang kepada DPR”, dan secara terbalik, dalam Pasal 20 ayat(1) dinyatakan: “DPR memegang kekuasaan membentuk UU”.[16] Artinya, pemegangutama (primer) kekuasaan legislatif untuk membentuk undang-undang itu adalahDPR, sedangkan Presiden hanyalah pemegang kekuasaan sekunder.







Perubahan tersebut membawa implikasi terjadinyapergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR yang berdampak sangatprinsipil. Dapat dikatakan bahwa semangat yang terkandung di dalam perubahanitu adalah untuk memastikan dianutnya prinsip pemisahan yang tegas antarakekuasaan legislatif dan eksekutif dalam hubungan antara parlemen danpemerintah. Dalam rumusan Pasal 20 ayat (2) memang ditegaskan bahwa tiap-tiapundang-undang menghendaki persetujuan bersama antara Presiden dan DPR. Akantetapi, persetujuan itu sebagaimana dikemukakan di atas, haruslah dilakukanmelalui proses persidangan. Dalam sistem demokrasi, bisa saja terjadi bahwameskipun pihak Pemerintah berbeda pendapatnya dengan kekuatan oposisi diparlemen, namun putusan akhir dalam pembahasan suatu RUU, justru dimenangkanoleh kelompok oposisi. Dalam hal demikian, Presiden dihadapkan pada pilihanmengesahkan atau tidak mengesahkan RUU tersebut. Sudah tentu, Presiden berhakuntuk menolak mengesahkan RUU tersebut, dan hak inilah yang biasa disebutsebagai hak veto Presiden sebagaimana diuraikan di atas.





Lembaga Legislatif di Daerah



Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dibentuk, baik didaerah propinsi maupun di daerah kabupaten dan kota. Pada umumnya, lembaga perwakilan rakyat ini dipahamisebagai lembaga yang menjalankan kekuasaan legilsatif, dan karena itu biasadisebut dengan lembaga legilsatif di daerah. Akan tetapi, sebenarnya haruslahdicatat bahwa fungsi legislatif di daerah, tidaklah sepenuhnya berada di tanganDPRD seperti fungsi DPR-RI dalam hubungan dengan Presiden. Sebagaimanaditentukan dalam Pasal 20 ayat (1) juncto Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 hasilPerubahan Pertama. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, DPR ditentukan memegangkekuasaan membentuk UU, dan dalam Pasal 5 ayat (1) dinyatakan bahwa Presidenberhak mengajukan RUU kepada DPR. Sedangkan kewenangan untuk menetapkanPeraturan Daerah (Perda), baik daerah propinsi maupun kabupaten/kota, tetapberada di tangan Gubernur dan Bupati/Walikota dengan persetujuan DPRDsebagaimana ketentuan mengenai pembentukan UU di tingkat Pusat dalam UUD 1945sebelum diamandemen. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Gubernur danBupati/Walikota tetap merupakan pemegang kekuasaan eksekutif dan sekaliguslegislatif, meskipun pelaksanaan fungsi legislatif itu harus dilakukan denganpersetujuan DPRD yang merupakan lembaga pengontrol terhadap kekuasaanpemerintahan di daerah.





Oleh karena itu, sesungguhnya, DPRD lebihberfungsi sebagai lembaga pengontrol terhadap kekuasaan pemerintah daerahdaripada sebagai lembaga legislatif dalam arti yang sebenarnya. Namun dalamkenyataan sehari-hari, lembaga DPRD itu biasa disebut sebagai lembagalegislatif. Memang benar, seperti halnya pengaturan mengenai fungsi DPR-RImenurut ketentuan UUD 1945 sebelum diamandemen, lembaga perwakilan rakyat iniberhak mengajukan usul inisiatif perancangan produk hukum. Menurut ketentuanUUD 1945 yang lama, DPR berhak memajukan usul inisiatif perancangan UU. Demikianpula DPRD, baik di daerah propinsi maupun daerah kabupaten/kota, berdasarkanketentuan UU No.22/1999, berhak mengajukan rancangan Peraturan Daerah kepadaGubernur. Namun, hak inisiatif ini sebenarnya tidaklah menyebabkan kedudukanDPRD menjadi pemegang kekuasaan legislatif yang utama. Pemegang kekuasaan utamadi bidang ini tetap ada di tangan pemerintah, dalam hal ini Gubernur atauBupati/Walikota.



Oleh karena itu, fungsi utama DPRD adalah untuk mengontroljalannya pemerintahan di daerah, sedangkan berkenaan dengan fungsi legislatif,posisi DPRD bukanlah aktor yang dominan. Pemegang kekuasaan yang dominan di bidanglegislatif itu tetap Gubernur atau Bupati/Walikota. Bahkan dalam UU No.22/1999Gubernur dan Bupati/Walikota diwajibkan mengajukan rancangan Peraturan Daerahdan menetapkannya menjadi Peraturan Daerah dengan persetujuan DPRD. Artinya,DPRD itu hanya bertindak sebagai lembaga pengendali atau pengontrol yang dapatmenyetujui atau bahkan menolak sama sekali ataupun menyetujui denganperubahan-perubahan tertentu, dan sekali-sekali dapat mengajukan usul inisiatifsendiri mengajukan rancangan Peraturan Daerah.





Kepala Desa dan Parlemen Desa



Salah satu materi penting yang diatur dalam UUNo.22/1999 adalah soal keberadaan organisasi pemerintahan desa yang dalam UUtersebut ditegaskan terdiri atas Kepala Desa dan Lembaga Perwakilan RakyatDesa. Sebagaimana dikemukakan di atas, semangat yang terkandung dalam UUNo.22/1999 menentukan keberadaan desa sebagai ‘self governing community’ yangbersifat otonom atau mandiri. Bahkan dapat dikatakan bahwa daya jangkauorganisasi negara secara struktural hanya sampai pada tingkat kecamatan,sedangkan di bawah kecamatan dianggap sebagai wilayah otonom yang diserahkanpengaturan dan pembinaannya kepada dinamika yang hidup dalam masyarakat sendirisecara otonom. Semangat demikian ini telah dikukuhkan pula dalam perubahan UUD1945 yang memberikan peluang untuk tumbuh dan berkembangnya hukum adat yanghidup dalam masyarakat.



Karena itu, tradisi pemerintahan desa sepertiyang hidup di Sumatera Barat, misalnya, yang dikenal dengan nama ‘sistempemerintahan nagari’ dapat dihidupkan kembali penataannya sebagaimana mestinya.Saya sendiri telah menyampaikan berbagai masukan kepada Gubernur Sumatera Baratberkenaan dengan persiapan-persiapan yang menyangkut hal itu, termasuk dalamrangka penyusunan rancangan Peraturan Daerah berkenaan dengan soal‘pemerintahan nagari’. Demikian pula dengan sistem marga di Sumatera Selatanataupun sistem pemerintahan desa di daerah-daerah lain dapat dikembangkansecara beragam sesuai tradisi budaya masing-masing dan perkembangan kebutuhanyang ada setempat-setempat. Dengan diakuinya keragaman itu, maka baik bentuk, namamaupun fungsi organisasi pemerintah desa dan badan perwakilan rakyat desa dapatberagam dari satu desa ke desa lain, ataupun daerah satu daerah ke daerah lain.Bahkan materi hukum adat yang ditetapkan berlakunya dapat pula beragam darisatu daerah ke daerah lain. Keragaman sistem keorganisasian dan sistemperundangan setempat-setempat itu dapat ditampung dengan mengukuhkan perananPeraturan Desa yang ditentukan dan ditetapkan oleh Kepala Desa denganpersetujuan badan perwakilan desa. Oleh karena itu, penting bagi setiap daerahuntuk mengatur mekanisme pembuatan Peraturan Desa tersebut sebagai pedomankerja legislatif di desa-desa.



Parlemen Bukan Lembaga Teknis, Tetapi Lembaga Politik



Dari uraian di atas dapat kita mengerti bahwasebenarnya, lembaga parlemen itu adalah lembaga politik, dan karena itupertama-tama haruslah dipahami sebagai lembaga politik. Sifatnya sebagailembaga politik itu tercermin dalam fungsinya untuk mengawasi jalannyapemerintahan, sedangkan fungsi legislasi lebih berkaitan dengan sifat-sifatteknis yang banyak membutuhkan prasyarat-prasyarat dan dukungan-dukungan yangterknis pula. Sebagai lembaga politik, prasyarat pokok untuk menjadi anggotaparlemen itu adalah kepercayaan rakyat, bukan prasyarat keahlian yang lebihbersifat teknis daripada politis. Meskipun seseorang bergelar Prof. Dr. jikayang bersangkutan tidak dipercaya oleh rakyat, ia tidak bisa menjadi anggotaparlemen. Tetapi, sebaliknya, meskipun seseorang tidak tamat sekolah dasar,tetapi ia mendapat kepercayaan dari rakyat, maka yang bersangkutan paling‘legitimate’ untuk menjadi anggota parlemen.



Oleh karena itu, makin rendah tingkatan palrmenitu makin harus dipahami bahwa DPR itu adalah lembaga politik, dan karena itutidak perlu dinilai dari kacamata teknis. Sebab ada kemungkinan bahwa tingkatpendidikan rata-rata anggota DPR Pusat lebih tinggi daripada tingkat pendidikananggota DPRD propinsi yang juga lebih tinggi daripada tingkat pendidikanrata-rata anggota DPRD kabupaten/kota. Jika DPR dan DPRD dilihat sebagailembaga politik, sudah tentu kenyataan tersebut harus bisa diterima sebagaikenyataan. Oleh karena itu, perubahan yang terjadi di tingkat pusat dalampengaturan mengenai kewenangan melakukan perancangan UU dari Presiden ke DPRtidak perlu diikuti di tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Jika di pusat,kekuasaan membentuk UU berada di tangan DPR sebagaimana hasil Perubahan PertamaUUD 1945, maka di daerah propinsi dan kabupaten/kota, kewenangan menetapkanPeraturan Daerah masih ditentukan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota, asalkanuntuk itu perlu mendapat persetujuan lebih dulu dari DPRD setempat. Sesuaifungsinya sebagai lembaga pengawasan politik yang kedudukannya sederajat denganpemerintah setempat, maka DPRD juga diberi hak untuk melakukan amandemen danapabila perlu menolak sama sekali rancangan yang diajukan oleh pemerintah itu. BahkanDPRD juga diberi hak untuk mengambil inisiatif sendiri guna merancang danmengajukan rancangan sendiri kepada pemerintah (Gubenur atau Bupati/Walikota).



Dengan demikian, saya menyarankan kepada semuaanggota DPRD propinsi, kabupaten dan kota di seluruh Indonesia, untukmeningkatkan perannya sebagai wakil rakyat yang secara aktif mengawasi jalannyapemerintahan di daerah masing-masing dengan sebaik-baiknya. Instrumen yangdapat digunakan untuk itu adalah segala peraturan perundang-undangan yangberlaku dan rencana anggaran yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Sudahtentu untuk melaksanakan fungsi-fungsi DPRD, termasuk fungsi legislasi danfungsi anggaran, setiap anggota DPR perlu menghimpun dukungan informasi dankeahlian dari para pakar di bidangnya. Informasi dan kepakaran itu, banyaktersedia dalam masyarakat yang dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untukkepentingan rakyat banyak. Apabila mungkin, setiap anggota DPR juga dapatmengangkat seseorang ataupun beberapa orang asisten ahli untuk membantupelaksanaan tugasnya. Jika belum mungkin, ada baiknya para anggota DPRD itumenjalin hubungan yang akrab dengan kalangan lembaga swadaya masyarakat, dengantokoh-tokoh masyarakat dan mahasiswa di daerahnya masing-masing, dan bahkandari semua kalangan seperti pengusaha, kaum cendekiawan, tokoh agama, tokohbudayawan dan seniman, dan sebagainya. Dari mereka itu, bukan saja dukunganmoril yang dapat diperoleh, tetapi juga informasi dan pemahaman mengenairealitas yang hidup dalam masyarakat yang kita wakili sebagai anggota DPRD. Atasdasar semua itu, setiap anggota DPRD dapat secara mandiri menyuarakankepentingan rakyat yang mereka wakili, sehingga rakyat pemilih dapatbenar-benar merasakan adanya manfaat memberikan dukungan kepada para wakilrakyat untuk duduk menjadi anggota DPRD.







DAFTAR KEPUSTAKAAN







Asshiddiqie, Jimly, Pembangunan Hukum Nasional di AbadGlobalisasi, Jakarta: Balai Pustaka, 1998.







--------------, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemendalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Jakarta: UI-Press, 1996.







--------------, “Penataan Kembali Bentuk dan Tata UrutPeraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia”, makalah Seminar Nasional tentang Perubahan Undang-Undang Dasar 1945,Bandar Lampung: Sekretariat Jenderal MPR-RIdan Fakultas Hukum Universitas Indonesia,24-26 Maret, 2000.







--------------, “Reformasi Hukum Nasional”, makalah seminarKelompok Kerja Nasional Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani, Jakarta: Sekretariat Negara, 1999.







Finer, S.E., Bogdanor, Vernon, dan Rudden, Bernard, Comparing Constitutions, Oxford: Clarendon Press, 1995.







Keete, William J., and Ogul, Morris S., The AmericanLegislative Process: Congress and the States, 4th edition, New Jersey: Prentice-Hall, 1977.







Levinson, Sanford, TheConstitutional Faith, Princeton University Press, 1988.







Lubis, Solly, “Sumber Hukum Perangkat dan PeringkatPeraturan Hukum”, makalah Seminar Nasional Perubahan UUD 1945, Bandar Lampung:Sekretariat Jenderal MPR-RI dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 24-26 Maret, 2000.







Metz, John Carl, The President’s Veto Power, 1889-1968,Ph.D. Dissertation, University of Pittsburgh, 1971.







Republik Indonesia,Perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2000.







Wolhoff, G.J., Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Jakarta: Timun Mas, 1955.







Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Jajasan Prapantja, 1959.



[1] Disampaikan dalam “Lokakarya tentang Peraturan Daerahdan Budget Bagi Anggota DPRD se-Propinsi (baru) Banten” yang diselenggarakanoleh Institute for the Advancement of Strategies and Sciences (IASS), di Anyer,Banten, 2 Oktober 2000.



[2] Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.



[3] Lihat Penjelasan Pasal 24 UUD 1945 yang menyatakan bahwakekuasaan kehakiman merdeka dari pengaruh kekuasaan pemerintah.



[4] Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum diamandemenmenyatakan: “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang denganpersetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.



[5] Ketetapan MPRNo.



[6] Misalnya peradilan agama yang memiliki sejarahtersendiri dalam sistem hukum nasional, diberikan perhatian yang khusus,sehingga tidak serta merta dipindahkan pembinaannya ke lingkungan MahkamahAgung.



[7] Perumusan kata ‘memberikan’ dalam pasal ini tidakbersifat deklaratif sebagaimana lazimnya dalam perumusan norma hukum dasardalam konstitusi. Karena itu, jika pengertian pemberian otonomi itu ditafsirkansebagai pemberian kewenangan kepada daerah, maka berarti konsep kekuasaan aslidibedakan dari konsep kekuasaan sisa yang merupakan ciri sistem federal sepertiyang dikemukakan di atas.



[8] Konsep pertahanan-keamanan sebelum ditetapkannyaKetetapan MPR No. /MPR/2000 dilaksanakan secara bersamaan oleh TNI danPOLRI. Ketika UU No.22/1999 disahkan, organisasi TNI dan POLRI juga belumterpisah dalam satu kesatuan ABRI. Karenaitu, dapat saja timbul penafsiran bahwa terhadap gagasan untuk melakukandesentralisasi fungsi kepolisian sebagai penegak hukum dan keamanan sertaketertiban masyarakat dapat saja dikembangkan, meskipun fungsipertahanan-keamanan oleh TNI tetap merupakan urusan pemerintah pusat. Tetapi,setelah ditetapkannya Perubahan Kedua UUD 1945, dimana perkataan ‘pertahanan,keamanan’ dipisahkan dengan koma, maka baik fungsi pertahanan oleh TNI maupunurusan keamanan oleh POLRI ditentukan mutlak sebagai kewenangan pemerintahpusat.



[9] Adanya hak veto ini biasa diatur dalam sistem yangmenganut prinsip pemisahan kekuasaan, karena dianggap dapat dijadikan senjatayang efektif untuk meng’counter’ atau menghadapi kekuatan lembaga lain dalamrangka hubungan saling mengendalikan.



[10] Dalam Pasal 34 Konstitusi Perancis, misalnya,dinyatakan bahwa “Legislation is enacted by Parliament”. Dalam pasal ini juga ditentukansecara terperinci ruang lingkungan isi dan hal-hal yang harus diatur dalamundang-undang. Lihat S.E. Finer, Vernon Bogdanor dan Bernard Rudden, ComparingConstitutions, Clarendon Press, Oxford, 1995, hal. 223.



[11] Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Parlemen danPemerintah dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara,UI-Press, Jakarta, 1996.



[12] William J. Keete and Morris S. Ogul, The AmericanLegislative Process: Congress and the States, 4th edition, Prentice-Hall, New Jersey, 1977, hal.366.



[13] John Carl Metz, The President’s Veto Power, 1889-1968,Disertasi Ph.D., University of Pittsburgh, 1971, hal. 413-414.



[14] Samuel R. Solomon, “The Governor as Legislator”,National Municipal Review, XL (November 1951), hal. 515, juga dalam M. NelsonMcGeary, “The Governor’s Veto in Pennsylvania”, American Political Science Review, XLI (October 1947),hal. 942. Lih. William J.Keete and Morris S. Ogul, Op.Cit.



[15] Jimly Asshiddiqie, Op.Cit.



[16] Republik Indonesia, Naskah Perubahan UUD Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR-RI, Jakarta, 2000.

No comments:

Post a Comment